Yang paling dirugikan dari efek pemanasan global adalah penduduk yang tinggal di kutub utara dan jumlahnya sekitar 4 juta orang. Sepertiganya adalah penduduk asli yang lebih dikenal sebagai orang Eskimo atau suku Inuit. Mereka tinggal di wilayah Nunavut, Alaska, Siberia, dan Greenland. Kata Eskimo sendiri berarti “pemakan daging mentah” karena mereka mempunyai kebiasaan memakan daging tanpa harus dimasak lebih dahulu. Menurut perkiraan para arkeolog, mereka sudah hidup di Kutub Utara sejak 2000 tahun sebelum masehi dan tinggal di sekitar Alaska. Mata pencaharian mereka biasanya adalah memancing ikan, berbuuru karibou, singa laut, sehingga mereka sangat menggantungkan hidup pada ekosistem es di kutub utara. Saat es mulai mencair, mereka harus beradaptasi dengan semua perubahan ini dan dengan terpaksa mereka akan kehilangan wilayah berburu, bahkan rumah tinggal mereka selama ini. Mereka juga harus mengubah kebiasaan hidupnya sehari-hari yang sudah diturunkan dari nenek moyangnya. Kemungkinan terburuk, mereka adalah korban pertama dari pemanasan global ini.
Saat pemanasan global terjadi secara menyeluruh, hewan mempunyai habitat di iklim yang dingin dan tinggal di wilayah tundra akan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Pemanasan Global ini menyebabkan musim semi datang lebih awal dan musim gugur datang terlambat, sehingga musim kawin yang berlangsung selama musim semi datang lebih awal dan lebih lama di belahan bumu utara. Hewan yang dapat beradaptasi terhadap perubahan punya kesempatan lebih besar untuk menurunkan sifat genetiknya dan meningkatkan frekuensi gennya dalam populasi karena mereka harus menentukan kapan harus bereproduksi, hibernasi, dan bermigrasi di dalam perubahan iklim yang begitu cepat dan tidak menentu. Contohnya tupai merah dari Kanada menjadi fleksibel menyambut musim kawin lebih dulu agar dapat tetap menurunkan sifat genetiknya.
Beberapa jenis spesies harus beradaptasi dengan semua perubahan ini atau akan bermigrasi. Hewan yang paling rentan menghadapi perubahan iklim yang drastis ini adalah reptil. Seperti yang kita ketahui selama ini, reptil dikenal sebagai hewan berdarah dingin karena mereka sangat menggantung pada sumber panas dari luar seperti sinar matahari, batu atau kayu yang hangat, atau tanah yang hangat. Inilah yang membedakan reptil dengan mamalia dan burung yang mengambil sumber temperatur panasnya dari dalam. Dengan kondisi fisik seperti ini dan tidak mempunyai kelenjar keringat seperti manusia, jika terjadi perubahan iklim dan peningkatan suhu yang drastis, maka banyak reptil yang tidak bisa beradaptasi dan mengalami kepunahan seperti 70 persen spesies katak harlequin di hutan tropis Amerika Tengah dan Selatan saat ini.
Selain reptil, saat ini beberapa spesies burung juga menghadapi dampak buruk dari perubahan iklim ini dan terancam punah dengan kemungkinan di antara 2 sampai 72 persen, semuanya tergantung wilayah, skenario iklim bagi burung untuk berpindah ke habitat yang baru. Dari laporan World Wide Found yang berjudul Bird Species and Climate Change menunjukan berbagai macam dampak buruk perubahan iklim ini bagi burung, contohnya lahan basah di sepanjang pantai Mediterania di Eropa yang selama ini menjadi habitat bagi burung migran akan hancur dalam tahun 2080 saat permukaan air laut naik dengan peningkatan suhu dari 1,5-4,2oC. Perubahan iklim di Kanada juga akan membuat habitat burung tufted puffin menjadi tidak sesuai lagi.
Sebagai antisipasi dari perubahan iklim ini, burung juga mengubah perilakunya seperti mereka akan berkembang biak dan bertelur lebih awal dari musim semi. Dari 64 kajian megenai burung ini, mereka memajukan waktunya karena musim semi datang lebih awal 6,6 hari per dekade. Bahakan di Eropa dan Amerika Utara, burung-burung migran berhenti bermigrasi dan mereka tidak perlu lagi menghindari musim dingin yang membeku karena daratan Eropa menjadi lebih hangat dari sebelumnya. Beberapa burung ini tidak mampu datang lebih awal pada musim semi untuk berkembang biak dan memburu mangsanya seperti serangga yang akan mencapai puncak perkembangbiakan lebih awal karena perubahan iklim ini. Di Belanda, populasi burung penangkap serangga mengalami penurunan sampai 90 persen selama dua dekade terakhir ini. Burung migran ini harus berkembang biak lebih awal saat musim semi tiba di Eropa karena serangga akan mencapai puncak perkembangbiakan lebih cepat. Jika mereka terlambat mendapatkan serangga dan ulat sebagai sumber makanan bagi anak-anaknya yang baru menetas, maka banyak anak-anaknya akan mati kelaparan. Saat burung mulai berkembang biak, sumber makanannya justru sedang mengalami penurunan yang drastis, sehingga dapat dipastikan bahwa anak-anaknya akan mengalami kekurangan gizi.
Perubahan iklim ini juga akan berdampak buruk pada ekosistem di lautan. Jika air laut semakin memanas, maka akan terjadi peningkatan keasaman laut, dan terumbu karang adalah yang paling rentan menghadapi peningkatan keasaman ini. menurut Dr. Nerilie Abrahams dari Universitas Nasional Australia, terumbu karang seperti sedang mencatat kematiannya sendiri. “Kami tahu bahwa jumlah Karbon Dioksida yang dipompakan ke atmosfer sebetulnya mengubah keasaman laut, dan membuat lebih asam lagi. Bahayanya adalah tentu saja seluruh terumbu karang akan hancur dan larut karena asam tadi.” Persoalan perubahan suhu meupun berbagai perubahan lain yang dialami lautan sebetulnya bukanlah sesuatu yang luar biasa. Di masa lalu hal ini sudah barangkali terjadi, nemun perbedaannya adalah saat ini perubahan suhu tersebut dipicu oleh campur tangan manusia, jadi bukan karena sebab alami.
Dadang Rusbiantoro
Dampak Buruk Pemansan, Sebab Akibat Migrasi Hewan, Efek Global Warming
GLOBAL WARMING ONLINE| http://mcarmand.blogspot.com
Eh BozZ TeRimaKasih Atas InforMasInyA,,,,,,,
beRguNa BngT to knowledge..........
from ipa 2
kalau udah begini manusianya juga yang harus segera intropeksi diri untuk segera menaggulangi global warming
Thanks ya infonya.....
so usefull!